Langsung ke konten utama

Karena Batik Itu Indonesia

Batik pertama saya adalah kemeja yang diwariskan kakak perempuan saya. Terpaksa saya memakai kemeja itu, karena kebijakan di sekolah yang baru yang mewajibkan seragam batik di setiap hari Sabtu. 

Karena bajunya lungsuran, maka warna kemeja itu pun buram, pudar. Meski begitu, ia telah menyelamatkan saya di saat yang tepat. Karena, mepet sehingga tak punya kesempatan buat mencari baju yang baru, Mama pun  mengobrak-abrik baju-baju lama yang sempat dibawa. Akhirnya diperoleh baju lama punya kakak yang masih layak pakai. Baju itu terbuat dari kain batik cetak, yang memang lebih murah dibanding batik biasa (batik tulis). Sebuah baju sederhana, namun datang di saat yang tepat.

Baju batik selanjutnya, adalah daster-daster  yang nyaman banget. Karena berjilbab maka daster jilbab adalah pakaian rumahan yang sangat cocok dipadukan dengan jilbab rumah. Bentuknya yang gombrang, menyamarkan bentuk badan namun tetap terasa dingin. Mama saya yang membelikan semua daster itu, karena memang beliau ahli dalam berbelanja pakaian ( atau dengan kata lain langsung cocok deh dengan ukuran anak-anaknya).

Setelah bekerja, saya mulanya belum mengenakan batik. Karena punya prinsip membeli baju adalah belanja paling terakhir dalam daftar saya. Namun, karena ada satu acara, yang mewajibkan mengenakan batik, saya pun berbatik. Tapi, ini gratis, karena seragam batik ini dibagikan ke semua panitia acara. Sayang, karena bajunya kekecilan dan tak mungkin saya pakai di luar acara itu, saya memberikannya ke seorang rekan kerja.

Baju batik yang akhirnya cocok, adalah sebuah hadiah dari rekan yang pindah ke daerah.  Walau sebenarnya modelnya untuk cowok, namun saya merasa nyaman dengan kemeja bermotif tradisional tersebut. Saya memakainya sampai sekarang, bahkan  setelah pindah domisili.

saya dan rekan kerja dalam batik

Kesan saya dahulu, batik itu jadul, kuno, ga asyik deh. Dulu juga banyak yang percaya diri tampil dengan batik, kecuali ke kondangan atau acara resmi yang mengharuskan berbatik. Mungkin karena kesan kaku yang ditimbulkan dari kata "Batik" itu sendiri.

Kalau menyebut batik, maka pikiran kita terbatas pada kain kaku, yang modelnya itu-itu saja, mahal pula serta tak cocok dipakai di berbagai acara. Itu dulu, sebelum negara api menyerang #eh, sebelum ada sosialisasi pemakaian batik yang dikampanyekan bapak Jusuf Kalla saat menjabat Wakil Presiden RI. Mulai saat itu, berbagai model, jenis dan gaya bermunculan dalam batik. Bukan hanya batik tulis dan cap, batik cetak pun bertebaran. Bukan dalam bentuk kain dan busana saja, tas, sepatu, mukena, sejadah dan banyak media lainnya, ikut di-batik.  Kini, orang tak canggung lagi mengenakan busana batik, bahkan dalam kesempatan yang sangat santai. Apalagi kalau berada di luar negeri, identitas kita sebagai orang Indonesia langsung terlihat dengan batik. Orang-orang bule / asing bisa langsung tahu kalau kita itu dari Indonesia, hanya dengan melihat batik yang dikenakan.

Mengenai motif batik, mungkin saya awam soal ini. Maklum, orang dari luar Jawa tak terbiasa dengan berbagai jenis motif batik. Namun, dari yang saya baca dan hasil seluncur di dunia maya, ternyata motif Batik Indonesia beraneka ragam, bukan dari Jawa saja. Ada Sumatera, Bali, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi juga.  Rupanya, banyak juga, hehe. 

 

Batik dari Papua (sumber www.indonesiaberprestasi.web.id)

Batik jadi tambah membuat kita bangga sebagai orang Indonesia, saat resmi dikukuhkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Maka, Malaysia dan bangsa lain yang ingin memakai kata "Batik" buat kain tradisionalnya tak bisa berkutik. Karena Batik itu Indonesia.


                                                                             ###

Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Batik Indonesia, kerja sama Blogfam dan www.BatikIndonesia.com

                                      


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.