Langsung ke konten utama

Kersen, Jambu Air dan Rambutan


Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.

Suatu sore, April 1994
Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time, waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!!
Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm...,
Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam.
Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku.


Kersen (gambar dari sini)


Selain Kersen, di sana juga banyak Pohon Jati. Di belakang rumah nenek adalah kawasan Hutan Jati. Lalu, ada kali kecil tempat aku biasa bermain. Dan juga sebuah SMA swasta yang jumlahnya siswanya tak lebih banyak dari siswa di SD-ku. Di depan rumah hanya ada jalan kecil, belum di aspal. Jalanan yang berkali-kali menjadi saksi jatuh bangunku belajar naik sepeda. 

Lingkungan sekitar rumah hanya berisi beberapa rumah, karena memang daerah itu baru dihuni beberapa tahun. Sebelumnya hanyalah kawasan pohon jati.
Suasana bertambah sunyi menjelang malam hari. Setelah gelap, biasanya hanya terdengar suara jangkrik. Kota tempat rumah nenekku-Raha-memang terhitung kota kecil, meski berstatus ibukota kabupaten. Lampu-lampu jalan masih jarang, itulah mengapa suasana malam di sana terasa lebih sepi.


Siang, April 1992
Sepulang sekolah, aku langsung mengganti seragam putih merahku. Bergegas ke halaman depan. Buah jambu air yang merah dan terlihat manis menghiasi pohon-pohonnya. Ahhh, aku ingin segera menghabiskannya.
Mama berteriak memanggilku, menyuruh untuk makan siang dulu. Tapi, ahhh...buah-buah jambu air itu tak bisa menunggu. Aku tetap berjalan ke arah halaman. 
Bertengger di pohon jambu air bisa dibilang kegiatan rutinku di saat musim jambu air. Sedang, di musim jambu bol, aku pasti akan bertengger di pohon Jambu bol, hehe.
Di halaman rumahku terdapat berbagai macam pohon, baik buah ataupun tanaman biasa. Jambu air, mangga, rambutan, pinus, alpukat (juga pernah, tapi tak berbuah), jambu monyet, dsb. Bahkan, di belakang rumah, Bapak pernah membuka ladang kecil berisi kacang-kacangan dan jagung.
Selain itu, Mama juga rajin menanam bunga di pot. Pot-pot bunga itu di pasang mengelilingi bagian depan rumah.
Kendari di tahun 1992 masih terbilang sepi. Walau terletak di dekat jalan besar, lingkungan sekitar rumahku hanya terdiri dari beberapa rumah, tak ramai. 


April, 2013
"... bisa internet, bisa facebook. Hape murah..." dari kamarku dengan jelas terdengar suara promosi dari sebuah toko ponsel. Dulu aku kira itu suara orang yang berteriak di depan mikrofon. Namun, karena berkali-kali dan intensitas suaranya yang stabil, aku jadinya tahu kalau itu suara rekaman (huedeuh).


Lorong Rambutan

Lalu lalang kendaraan terlihat dari balik jendela. Lorong* kecil itu kini telah ramai dengan motor dan mobil serta pete-pete. Rambutan, itu nama lorong rumahku.
Rumahku itu berada tak jauh dari rumahku yang lama, tepat di belakangnya, dengan luas halaman yang lebih kecil. Beberapa tahun sebelumnya, Bapak telah menjual sebagian tanahnya dan membangun rumah yang baru di tahun 1998. Di halamannya hanya ada pohon kelapa dan palem.
Di ujung lorong, jalan besar, berjejerlah ruko-ruko yang berjualan berbagai barang. Jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Bahkan, sebuah mal dibangun tahun lalu. Lingkungan rumahku tak sama lagi, berubah drastis dari saat aku kecil.
Rumah tetangga sekaligus teman kecilku juga telah berubah menjadi hotel. Ayahnya kini menjadi pengusaha hotel.
Sekitar rumahku sudah tak sama lagi, ikut berubah bersama Kendari yang telah bertransformasi (menjadi kota ruko @_@). 



------------------------
*di Kendari, jalan kecil disebut lorong.






Komentar

  1. behhh, hampirmi sama di makassar tidak adami juga pohon manggaku gara2 ditebang buat kasih luas jalan menuju pusat ruko.... huft
    ehhh, bdw lg di baubauka ini, dekatji toh dari kendari hahaha #salamucok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya memang di Makassar pohon2 itu prioritas kesekian, dan buat kota tambah panas cetar membahana.

      Bau-bau? Lebh dkat makassar (naik pesawat).

      Hapus
  2. kersen...entah di sudut mana lagi di makassar bisa kutemukan pohon ini :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ndak pernah jg kuliat waktu di makssar B-)

      Hapus
    2. Ada pohon kersen depan skolahku...anak-anak sering manjat dan saya ikut-ikutan menengadah di bawahnya... :)

      Hapus
  3. Masih jago manjat pohon kersen sekarang? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ndakmi, lebih tepatnya nd beranimi.
      Tingkat keberanian berbnding terbalik dng umur ;-)

      Hapus
  4. Kersen apaan sih??? Baru denger...
    Kayak anggur yqh????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya bukan kersen disebut kalo di sini, tapi gersen. Nd tau kalo di sana.
      Kalo di google translate, namanya cherry.

      Hapus
    2. Cherry dah dimakkassar yah???
      Bisa dapat dmana tu!??

      Hapus
  5. salut masih ingat memmori tahun jembot :D salam kenal kaka, sy hijrah ke makassar dari kendari itu tahun 97, saya masih sering menemukan pohon kersen, sattung dan lobe2, masih adakah semua itu hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lamami memang mw sa tulis ttg kersen, hnya kesempatanx bru skrg.
      Lobe2? Hehe. Kalo sattung, jrgmi.

      Hapus
  6. Senengnya masih mengalami punya pohon, di Jakarta dah tidak ada :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rumah yg sekarang udah ga bnyak pohonnya. Tapi, di ujung lorong ada pohon2 yg ditanam bbrapa bulan lalu dan sekarang mulai rindang.
      Kalau di jakarta menurut saya, bnyak jg pohonnya. Kalau lg naik kendaraan umum, seneng ngeliatin pohon2 yg ada di pinggiran jalan. Tapi, mungkin jmlnya ga sebnding ama penduduk dan tingkat polusi kota.

      Hapus
  7. kersen, jambu air, rambutan, settung, lobe-lobe... huaaaaa.... sebagai gadis yang besar di desa, buah-buahan itu familiar banget. adalagi bunne, coppeng, jambu biji... malah lebih doyan mereka daripada apel, anggur, pir, dkk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih enak, soalnya rasa gratis dan hsl manjat sendiri.

      Hapus
  8. disini itu disebut pohon seri..

    banyak loh di belakang rumahku :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh, iya, pernah dngr tu seri/ceri. Kalo ga salah yg dari sumatra make nama itu.

      Hapus
  9. sa suka juga copppeng sama kersen, sampe ungu2 biasa gigi kalo abis makan coppeng hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...

      Tapi, coppeng itu apa? Belum pernah liat kasian :)

      Hapus
    2. agak jarangmi ditemukan sekarang, bahasa indonesianya buah jamblang, atau duwet :D

      Hapus
    3. Tetap ndak tau ;)
      Mungkin pernahji kuliat, hnya ndak tau namanya.

      Hapus

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.