Langsung ke konten utama

Wanita-Wanita Perkasa

Tentang wanita-wanita perkasa.
Karena dedikasi dan keteguhan hati mereka.
Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga.

Wanita-Wanita Pertama

Hari sudah semakin siang. Jualannya hanya sedikit yang laku.
Matahari semakin meninggi, melunturkan bedak tebal berwarna putih di wajahnya.
Kawan-kawannya yang lain sudah mulai pulang ke rumah. Mereka lebih beruntung hari ini.
Semenjak subuh sudah menuju ke pelelangan, bertarung dengan para penjual yang lain.
Mencari ikan paling bagus dan juga murah. Demi sesuap nasi hari ini.

Menapaki lorong demi lorong, di jalanan kota Kendari.
Mendatangi rumah demi rumah. Berharap sang pemilik rumah belum membeli ikan dari penjaja ikan lain atau dari pasar.
Sayang, hari ini mereka sepertinya tak berminat membeli ikan darinya.
Loyang berisi ikan di kepalanya semakin terasa berat saja.
Lenguhan suara "Kenta... Kenta... Ikaaaann.... Ikaaaannn..." dari mulutnya semakin terdengar lemah.
Tinggal harapnya, semoga ikannya  hari ini habis laku terjual.

-----
Mereka adalah para ina-ina penjual ikan.
Para perempuan (berleher) tangguh yang berjualan ikan sambil membawa loyang di kepala mereka.
Terkadang sambil membawa ember di tangan, yang juga berisi ikan.
Yang khas dari mereka adalah bedak dingin yang selalu menghiasi wajahnya.
Bedak yang dipercaya berkhasiat melindungi kecantikan mereka dari dahsyatnya sinar matahari.

Kalau di kota lain, para penjual ikan biasanya bersepeda atau bermotor, maka para ina-ina ini tidak.
Mereka cukup mengandalkan kedua kaki dan tangan mereka. Serta suara yang unik lagi stabil, untuk menarik para pelanggan.
Sungguh pekerjaan yang sangat berat. Apalagi mereka adalah para wanita.
Dengan bobot ikan yang bisa mencapai puluhan kilogram, bisa dibayangkan betapa beratnya membawa semua itu. Di atas kepala pula, sambil berjalan beberapa kilometer.

Saya selalu kagum dengan mereka. Di tengah situasi ekonomi yang serba tak mudah.
Mereka adalah contoh para wanita yang tak berputus asa, menanti pemberian orang.
Bermodalkan semangat dan ketekunan, mereka menjemput rejeki semenjak pagi hingga sore hari.

Wanita Kedua

Perempuan itu telah siap dengan sapu di tangannya. Siap untuk memberikan hukuman.
Hari ini, tak satupun muridnya yang membawa peta. Padahal, dari kemarin dia sudah mengingatkan mereka.
Tak membawa peta berarti hukuman.

Kacamata diturunkannya, dilihatnya lagi satu per satu wajah anak-anak itu.
Entah sengaja atau memang lupa, kenapa mereka semua kompak hari itu. Kompak tak membawa peta.

Semua disuruh berbalik menghadap ke tembok. Lalu, diayunkannya sapu ke betis tiap anak.
"Praaaakkk.... Praaaaakkkkk!!" bunyi sapu menggema ke seluruh keras.
Semua anak yang dipukul menahan rasa sakit, tak sedikit yang menangis.

-----
Beliau adalah guru saya di kelas 6 SD. Di sebuah sekolah sederhana di Raha, kota kecil di pulau Muna.
Dari beliaulah saya belajar arti "belajar". Menemukan kenikmatan "belajar", dan berusaha menikmati "belajar".
Meski sistem pengajarannya masih sedikit berbau "feodal", namun anehnya saya merasa tak sedikit pun dendam. Malah rasa terima kasih yang begitu besar untuk beliau, Mrs. R.
Terlebih lagi di masa sekarang, saya rindu dengan sosok guru seperti Mrs. R, yang sangat teguh pendirian serta jujur. Prinsip yang kini seperti hilang tanpa bekas.
Belajar di sekolahan sekarang tak ubahnya seperti di bimbingan belajar, cuma buat lulus Ujian Nasional. Ironis.

Wanita Ketiga

Hari rabu, menjelang magrib. Seorang wanita, dua puluh tujuh tahun melahirkan bayi perempuan yang montok dan sehat. Belum diberi nama, sebab menunggu kakeknya pulang dari berhaji.
Anak itu adalah yang ketiga, serta anak perempuan keduanya.
Sang Bapak sudah menyiapkan nama, Ivana. Sama dengan nama pebulutangkis yang lagi naik daun saat itu Ivana Li.

Hari berganti hari, hingga si anak bertumbuh dewasa.
Saat umurnya belum genap dua puluh tahun, musibah datang. Bapaknya berpulang, meninggalkan dia, Mama dan ketiga saudaranya.

Menjadi janda di usia yang tak muda lagi, 47 tahun, serta tak punya pekerjaan, sang Mama pun akhirnya berjuang sendirian membesarkan ketiga anaknya yang masih sekolah.
Berbagai jalan ditempuhnya, asalkan halal, berjualan apa saja, demi biaya sekolah.

-----
Perempuan itu adalah Mama saya, (dan anak yang diceritakan itu adalah saya).
Mama saya adalah contoh keajaiban nyata untuk saya.
Betapa tidak, tanpa punya pekerjaan tetap (bermodal uang pensiun), Mama berhasil menyekolahkan saya, adik saya (di kedokteran yang biayanya mahal) serta kakak saya (bahkan sampai master untuk kakak saya).
Mama memang punya bakat berdagang, semenjak gadis dia telah memegang uang dagang dari Ayahnya.
Dengan bakat ituah, beliau memutar uang yang hanya sedikit menjadi modal dari berbagai macam barang.

Mama adalah wanita paling tangguh di mata saya. Walau tak punya sekolah yang tinggi, tapi percaya diri dan analisanya terkadang melampaui  orang yang punya sekolah lebih.

Mama, walau hubungan kami tak selalu harmonis, adalah wanita yang selalu tahu isi hati dan perasaan kami- anak-anaknya.


***

Para wanita yang saya ceritakan di atas adalah para wanita perkasa yang inspiratif bagi saya. Bukan karena nama besar, bukan karena kecantikan atau kepopuleran.
Mereka hanya wanita biasa yang "kebetulan" dikirim oleh Allah agar saya bisa belajar, dan mungkin menginspirasi saya dan anda. Semoga.

Komentar

  1. ibu wanita hebat sumber inspirasi anak-anaknya,.ina-ina dan bu guru pasti juga sumber inspirasi bagi anak-anaknya..

    nice share sist:)

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.