Langsung ke konten utama

Warna Saya Biru?

Jika ditanya tentang warna, biasanya saya akan menjawab "Biru!", walau sebenarnya saya tak tahu saya sukanya warna apa. Serius. Sepertinya saya memang dalam proses mencari warna, kalau bisa dibilang begitu. Eniwei, tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keempat. 

Biru adalah warna yang dekat dengan saya, mungkin itu kali yang membuat saya selalu mengasosiasikan warna favorit dengannya.

Yang pertama, warna gorden di kamar.
Entah kenapa Mama memilih warna biru. Yang jelas, gorden biru itu sudah ada sejak saya "pulang". Gorden yang terbuat dari kain licin (saya tak tahu jenis kainnya) dan modelnya sempat menjadi tren beberapa tahun yang lalu. Warnanya bukan biru muda (seperti yang saya lebih suka), tapi biru yang lebih terang. Yang jelas, fungsinya untuk menutupi jendela di malam hari dari luar terpenuhi dengan sempurna. 

gorden biru

Kedua, warna cat kamar saya.
Sebenarnya kamar itu dulu bukan kamar saya. Tapi kamar kakak lelaki saya (yang nomor dua). Semenjak kami semua berpencar (dan keluar dari rumah), sudah bergantian orang yang menempatinya. Dan uniknya, inilah satu-satunya kamar yang berdinding biru di rumah.
Setahu saya, kakak saya itu bukan penggemar warna tertentu. Sehingga, alasannya mengecat kamar dengan warna biru belum jelas. Mungkin iseng?? Hehe.

dinding biru

Ketiga, seprei biru.
Seprai yang sempat ikut merantau bersama saya beberapa tahun di Jawa. Seprei yang enak "banget" dipakai, karena halus dan dingin. Bukan saya yang membelinya, sprei itu dari Mama. Maka keberadaannya menambah misteri biru di sekitar kehidupan saya (#tsaaaaaaahhh).

Saya ada stok seprai warna lain, gratis dari pembagian sisa arisan tahun kemarin. Tapi, rupanya seprai yang baru itu tak dapat menggantikan kenyamanan seprai biruku. Saya kembali terpaku dengannya. Mencucinya berarti harus menunggu hingga kering hari itu juga. Biar tidurnya bisa nyenyak.

Barang keempat, mukena biru.
Kalau yang ini saya sendiri yang membeli, dan memilih yang biru. Lima tahun yang lalu saya beli di sebuah pusat grosir di Jakarta, bulan ramadhan. Mukena yang kemudian tak pernah lepas dari kegiatan keseharian saya beribadah. Bahannya katun, dan sayangnya kini tak banyak lagi yang menjual mukena yang seperti ini.
Tak cuma mukena yang ini yang biru, mukena kantor (yang bahannya parasut) saya juga berwarna biru. Mukena yang berumur hampir sama dengan mukena rumah saya.

seprei dan mukena biru

Keempat hal sebelumnya adalah benda-benda biru yang mengelilingi saya setiap hari (di rumah). Sedang untuk di luar rumah, ada beberapa benda biru yang akrab dengan saya.
Kelima, pete-pete.
Kendaraan wajib setiap hari untuk pergi ke kantor. Warna pete-pete di Kendari adalah biru (cat: puluhan tahun lalu warnanya masih beragam). Yang membedakan biasanya hanya garis di badan mobil. Hitam untuk Kota-Kampus, Merah untuk Kota-RRI, putih untuk Kota-Purirano, dll.

pete-pete

 Terakhir, yang keenam langit dan laut biru Teluk Kendari-Purirano

langit dan laut biru teluk kendari di Purirano 

Dalam perjalanan ke kantor, pemandangan laut biru adalah hal yang menyegarkan. Jika langit sedang cerah, maka hasilnya adalah warna biru yang sempurna, laut dan langitnya.


-----------------------

Definisi pasti kenapa saya memilih warna biru untuk barang-barang tertentu hingga hari ini belum saya temukan. Dan kenapa benda-benda berwarna biru itu dekat dengan saya juga masih misteri.
Yang pasti, biru itu salah satu dari tiga warna primer. Warna yang menyusun warna-warna yang lain.
Dan, dari psikologi warna, biru adalah warna yang memberikan respon psikologis: 
"Sesuatu yang luas dan tanpa batas, berwibawa, percaya diri, kepercayaan, konservatif, keamanan, kesetiaan, kesuksesan, teknologi, kebersihan, keteraturan, kedamaian, kesejukkan, keakraban, relaksasi, sensitif, spiritualitas, stabilitas, kontemplasi, misteri, dingin, kesabaran dan bisa diandalkan."
(Ah, ada kata keteraturan, kedamaian, kesejukan dan relaksasi di sana. Mungkin itu yang saya cari dari warna biru. Mungkin biru memang warna saya. Mungkin.)




Komentar

  1. wah, maniak biru ya.. biru emang keren sih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo dibilang maniak, enggaklah. Belum ke tahap itu.

      Hapus
  2. toooss dulu, kita sesama penyuka warna biru ini.

    anyway, kapan2 kopdar yukkss, dress code nya biru, hehehhehh :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.