Langsung ke konten utama

Pempek, dari Sumsel lalu Meng-indonesia.

Sumatra Selatan, menginjakkan kaki di tanahmu, aku belum. Satu-satunya anggota keluarga dalam (my inner family) yang pernah kesana, mungkin Bapakku. Aku pernah melihat foto Bapak, berlatar jembatan Ampera. Dari buku pelajaran SD, aku jadi tahu kalau jembatan itu ada di Palembang, Sumatra Selatan.

Cerita-cerita tentangmu hanya aku dengar dari kawan yang pernah atau memang tinggal di sana, kebanyakan melalui blog mereka. Juga tentang artis yang berasal dari sana, seperti Yahya bersaudara dan Anwar Fuady, pemain sinetron kawakan.

Namun, ada satu yang terasa dekat denganku. Sebuah makanan yang memang sangat terkenal berasal dari daerahmu, Pempek.

Suatu hari, sekeluarga dari Palembang tinggal di kosanku. Mereka datang ke Jakarta demi berobat.  Salah satu anak dari si Pak Haji (nama sang Bapak) menderita penyakit mata yang membutuhkan penanganan serius dari rumah sakit mata di Jakarta. Pengobatannya memerlukan waktu yang cukup lama maka mereka pun lama menetap di ibukota.

Beberapa kali mereka membuat Pempek dan beberapa kali juga aku ditawari untuk menyicipinya. Ahh, rupanya enak. Rasanya nikmat, mungkin karena orang Palembang asli yang membuatnya.  Makanan dari tepung itu yang disatukan dengan cuko memang terasa asing di lidah, awalnya. Namun lama kelamaan, aku menikmatinya.


Kemudian, aku diajari mereka cara membuatnya. Walau tak terlalu mahir memasak, aku akhirnya bisa. Sayang, tak ada campuran tepungnya tak memakai ikan (Patin atau Tenggiri), melainkan cuma terigu dan sagu.  Isinya pun hanya telur atau tahu. Pempek Lenjer dan Kapal Selam namanya. Cara membentuk adonan dan mengisinya memerlukan keahlian khusus, karena kalau tidak, Pempek tak akan terbentuk dengan baik.

Setelah mereka pulang ke Palembang, aku pernah mencoba membuatnya sekali. Lumayan berhasil dan layak dimakan.

Kini, aku di Kendari. Di sebuah tempat berkilo-kilometer jauhnya dari Sumatra Selatan.
Di sini, Pempek juga terkenal. Beberapa tempat juga menjual Pempek. Aku belum mencicipi semuanya, namun dari informasi temanku yang terkenal doyan makan, ada satu tempat yang menyajikan Pempek enak. Namanya Pempek Bu Fathun (berlokasi di dekat hotel Horison, Kendari).

Beberapa hari yang lalu, aku sempat kesana. Yang mengelola rupanya berasal dari Palembang, jadi rasanya mestilah asli Palembang juga. Aku memesan dua Pempek kapal selam, dibungkus. Aku bawa dan santap bersama seorang sepupuku. Sepupuku bilang rasanya, "Enaaakk!".

Pempek, makanan yang unik. Dan menjadi tambah unik sebab selalu dikaitkan dengan Palembang / Sumatra Selatan.  Pempek itu Palembang :)

Pempek, dari Sumsel lalu meng-Indonesia.

                            

*gambar dari id.openrice.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.