Langsung ke konten utama

Cerita Tentang Seragam (my true experiences).

Dari TK sampai SMA, anak yang tinggal dan bersekolah di sekolah umum Indonesia pasti tidak terlepas dari seragam.
Putih biru adalah warna seragam saya waktu TK, di TK PEMBINA Kendari. Kemeja putih, rompi biru, rok (mini) biru, kombinasi yang manis (Secara, saya suka biru).
Waktu SD (SD 1 Wua-Wua, sekarang sudah berganti nama) warnanya lain lagi. Merah untuk bawahannya, dan putih untuk atasannya. Tapi, itu hanya untuk hari senin dan selasa saja, karena di rabu dan kamis, kami wajib memakai putih-putih. Nah, soal putih-putih, ada cerita yang menarik. Karena warna atasan dan bawahannya sama, maka mama saya "berinisiatif" untuk menjahitkan baju terusan untuk saya. Dan, ternyata tidak masalah. Terusan putih-putih itupun terus melekat di badan saya setiap rabu dan kamis. Bagaimanan dengan jum'at dan sabtu? Dikedua hari itu kami biasanya memakai pakaian olahraga dan seragam pramuka. Tapi, kebiasaan ini harus berubah, saat saya pindah ke Raha. Di sekolah baru saya ini, senin-jum'at seragamnya putih-merah. Sedangkan di hari sabtu, batik dan rok merah. Dan, tentang batik ini, mama tidak perlu memberi baju baru. Setelah membongkar koleksi baju lama, akhrinya ditemukan batik milik kakak perempuan saya. Dan, baju itulah yang "menemani" saya di setiap sabtunya selama setahun.
SMP, selama tiga tahun seragamnya adalah putih biru, atasan putih, rok biru. Di hari jum'at, kami harus berganti atasan, seragam olahraga. Sedangkan sabtu, wajib mengenakan seragam pramuka, coklat-coklat (mirip permen).
Apa yang saya kenakan saat SMA? Tidak lain dan tidak bukan putih-abu abu. Yap, kemeja putih dan rok abu-abu. Selingannya, baju olahraga di hari Juma't.
Namun, keceriaan berseragam harus berakhir di masa kuliah. Karena sekolah saya bukanlah sebuah akademi (yang biasanya mewajibkan seragam), atau sekolah ikatan dinas (yang juga berseragam), hari-hari saya selama 5 tahun di bangku kuliah terlewati dalam balutan baju biasa. Yang berbau "agak" seragam, seingat saya hanya jaket almamater, baju OSPEK , baju BINA KADER dan jas Laboratorium. Dan yang terakhir, seragam wisuda (hampir lupa!)
Setelah kerja, ternyata saya kembali berseragam ria. Atasan abu-abu, rok biru black. Tapi, setiap jum'at, saya memakai jubah (sebenarnya batik, tapi karena saya tidak punya batik, maka berjubahlah saya).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.