Langsung ke konten utama

Ke Monas (lagi!).

Kalau ingat masa lalu, orang-orang di televisi yang sangat ingin melihat Monas dan berfoto di depannya, terlihat norak bagi saya. Tapi, akhirnya semua itu terjadi juga pada saya, Sabtu 13 Desember 2008 jam 4 sore.
Sebenarnya ke Monas sih pernah, beberapa bulan lalu, letaknya tidak jauh dari tempat saya tinggal, naik bajaj cukup bayar 10 ribu rupiah. Kali ini, karena bersama keluarga dan mereka sangat ingin melihat Monas, maka saya harus menemani.
Hujan gerimis menyambut saat kami tiba di sana. Celakanya, saya lupa membawa payung. Alhamdulillah, tidak terlalu deras. Setelah berjalan-jalan sebentar, kami pun memutuskan untuk berfoto di depan Monas. Kesempatan bersama yang amat sangat jarang selama 5 tahun terakhir ini, sayang untuk tidak diabadikan, apalagi karena ketiadaan kamera :( !!!!!
Kami pun berfoto (dengan latar belakang Monas!).
Pesan Moral dari ini :"Jangan pernah bilang kalau orang lain itu norak karena suatu hal, karena mungkin itu bisa terjadi pada dirimu sendiri!"

Komentar

  1. foto2 di monas? pingin... :D
    tapi jauh lebih pingin foto2 di istiqlal.. :)
    sayang kemaren belum sempat.. moga lain kali terwujud..

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.