Langsung ke konten utama

[OMOB-JANUARI 2015] Jilbab dalam Pelukan Uncle Sam

Judul : Jilbab dalam Pelukan Uncle Sam
Penyusun : Meidya Derni
Penerbit : Madanisa (imprint dari Salamadani)
Penyunting : Emsoe
Perancang Sampul : Norma Aisyah
ISBN : 978-979-17213-3-2
Cetakan I : Februari 2008
Tebal : xii + 188 hal

Kasus Charlie Hebdo dan Islamofobia di Eropa membawa saya kembali pada buku ini. Sebuah buku yang saya beli akhir Mei, 6 tahun yang lalu, di sebuah toko buku yang berada di gang sempit kawasan Rawamangun. Jilbab dalam Pelukan Uncle Sam. Saya masih ingat kenangan saat pertama kali melihat sampul bukunya. Sampul yang adalah jendela sebuah buku, dan sampul buku ini sangat menarik di mata saya. Seorang perempuan muda yang mengenakan kerudung dari bendera Amerika, Star Spangled Barner.  Cerita yang diangkat menjadi sampul bukunya adalah salah satu kisah di dalam buku ini yang kebetulan juga menjadi judul bukunya, Jilbab dalam pelukan Uncle Sam. Kisah tentang pekerja anak Indonesia di Amerika yang disiksa majikannya dan berakhir di pengadilan Amerika.

Para penulis dalam buku ini adalah perempuan Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat, sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Cerita yang ditulis di tahun 2006 memberikan gambaran bagaimana kehidupan mereka sebagai muslimah terutama setelah peristiwa 11 September 2001 (Black September).  Uniknya, ada beberapa yang memutuskan memakai jilbab setelah tinggal di sana.

Menjadi wanita muslim apalagi di negara seperti Amerika merupakan perjuangan setiap hari bagi mereka. Pandangan sinis, miring bahkan tindakan kasar pernah mereka dapatkan. Namun, tak sedikit juga uluran tangan dan persahabatan yang hangat dari orang Amerika yang sudah mengerti. Seperti juga masyakat kita umumnya, ketidaktahuan membawa asumsi. Dan terkadang asumsi atau anggapan yang berkembang dari ketidaktahuan itu adalah yang jelek-jelek.  Pengetahuan masyarakat Amerika tentang Islam kebanyakan diperoleh dari berita buruk yang membawa nama Islam-sebut saja terorisme.

Kisah para muslimah dalam mempertahankan jilbabnya di ruang publik atau bahkan di ruang radiologi, dikira biarawati (nun), atau pandangan kasihan dari orang karena dianggap dipaksa oleh suami-suami mereka dalam berjilbab, adalah salah banyak dari kisah-kisah inspiratif dalam buku ini. Membuat saya atau mereka yang tinggal di Indonesia akan pasti merasa lebih beruntung sebab dengan bebasnya bisa berjilbab (walau banyak juga yang dipandang sinis dengan jilbab panjang atau cadarnya), sesuatu yang harus sering-sering kita syukuri.  Berbagai kisah dalam buku ini bisa menjadi gambaran betapa beratnya menjadi muslimah berjilbab di negeri Paman Sam itu. Namun bagi mereka juga adalah perjalanan penuh hikmah yang menambah keimanan.

***

Komentar

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.