Langsung ke konten utama

Back to The Jadul Mode^^

Kemarin adalah waktu menyerahkan laporan dasarian (10 hari-an), gempa selama sepuluh hari yang tercatat di kantor. Maka, saya pun segera mengerjakan laporan tersebut yang terdiri atas satu halaman lembar pengantar, lembar laporan kejadian gempa dan lembar peta. Tidak berapa lama, lembar pengantar dan laporan kejadian gempa selesai. Sehingga yang tinggal hanya lembar peta.

Untuk peta, kami menggunakan software ArcGIS. Yang dibutuhkan hanya data lokasi berupa titik episenter (dalam format .dbf atau .txt), karena peta dasar sudah ada. Dan data titik-titik episenter juga telah saya siapkan dari hari Jum'at. 

Namun, saat akan masuk ke program ArcGIS, rupanya macet. Licence manager-nya bermasalah kembali. Mengapa ini terjadi? Tak lain dan tak bukan karena software yang kami pakai adalah bajakan :(, seperti yang masif terjadi di Indonesia (yang sayangnya memang menyedihkan). Yang bisa menyelesaikan masalah tersebut adalah rekan saya juga di kantor (berlatar belakang IT), sayangnya saya belum bisa kontak dengannya. Hingga kemarin, masalah peta tersebut belum terpecahkan.

  
Tampilan peta gempa dengan ArcGIS

Sebenarnya ada alternatif bagi pembuatan peta, yakni dengan program ArcView. Program ini adalah yang dipakai sebelum kami memakai ArcGIS. Hanya saja, karena saking lamanya tidak dimanfaatkan, makanya waktu yangc dibutuhkan untuk membuat satu peta lebih banyak dibanding memakai ArcGIS. Itu yang ada di pikiran saya juga kemarin.
Dan, pagi ini, ArcGIS belum bisa diperbaiki, sehingga dengan terpaksa saya harus memakai alternatif ArcView, program jadul. 

ArcView memang lebih jadul dari ArcGIS, dari segi tampilan sangat terlihat. Namun program ini memiliki kelebihan, yaitu sangat mudah di-instal serta tak "memakan" memori yang besar. Program ini masih kompatibel dengan OS lama, seperti XP dan Vista. 

  
Tampilan peta gempa dengan ArcView 

Akhirnya setelah diutak-atik lama (selama beberapa jam), peta dalam ArcView akhirnya jadi juga. Bersama seorang rekan dan beberapa anak magang, peta yang minim "aksesoris" itu selesai. Lega sekali rasanya, setelah beberapa bulan tak bersentuhan dengan program ini dan sangat underestimate dengan hasil yang diperoleh, ternyata petanya tak buruk-buruk amat, hehe. Laporan dasarian pun selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.