Langsung ke konten utama

Mengenal Bungker Seismik (Seismic Vault)


Kalau selama ini, orang2 mengenal bungker buat perlindungan selama perang atau dalam masa kekacauan, maka lain halnya dengan bungker yang dimiliki oleh BMKG. Bungker yang dibangun oleh instansi ini bukan bertujuan untuk perlindungan orang, melainkan sebagai rumah perlindungan bagi alat yang bermanfaat untuk mencatat gempa.
Mengapa bungker ini dibuat? Menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu berkenalan dengan alat-alat pencatat gempa yang ada dalam bungker....maka..perkenalkanlah.....

SEISMOGRAPH (SEISMOMETER)

Adalah alat yang sangat sensitif terhadap getaran, makanya alat yang satu ini perlu mendapat perlakuan khusus. Di dalam bungker, biasanya alat ini dilindungi dengan sterefoam atau benda lain yang bisa menghambat panas, karena seismometer (sensor) peka terhadap perubahan panas. Di beberapa tipe, sensor bahkan di”tanam” di dalam tanah(bedrock, batuan dasar) ntuk mendapatkan getaran tanah yang lebih “asli”. Karena berupa alat analog, dan masa sekarang yang dibutuhkan adalah data digital, yang lebih mudah pengolahannya, maka selain seismometer ada alat lain yang disebut digitizer atau ADC converter, yang berfungsi mengubah sinyal analog menjadi data digital.
Data dari seismograph digunakan untuk mengetahui lokasi pusat gempa serta magnitudonya.

ACCELEROGRAPH (ACCELEROMETER)

Merupakan alat yang mengukur percepatan getaran tanah. Berbeda dari seismometer yang berbasis kecepatan tanah (velocity), maka accelerometer mengukur percepatan (acceleration). Data percepatan ini berguna untuk mengetahui dampak gempa terhadap kondisi tanah lokal, yakni dampak goncangannya.
Dengan bungker yang dibangun dengan kedalaman sekitar 2 meter mampu menangkap dengan baik gelombang seismik gempa yang berasal dari dalam, berbeda jika alat hanya ditaruh di permukaan tanah.
Karena letaknya yang di dalam tanah, maka tidak mengherankan kalau bungker rentan terhadap kerusakan, selain juga karena iklim indonesia yang basah dan lembab.

Dengan bungker yang standar, maka alat-alat di dalamnya akan terlindung dengan baik, sehingga mampu bekerja dan mendeteksi gempa dengan baik pula.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.