Langsung ke konten utama

Oleh-oleh dari Parung

Bukan berupa talas, ataupun buah-buahan terkenal asal bogor, tapi sepenggal cerita mewakili kenangan selama di sana.
Terlambat memang, benar-benar telat. Heran, akhir-akhir ini, passion to write turun hingga ke level mengkhawatirkan bagi seorang blogger. Namun, saya mencoba lagi, membuka "paksa" ruang memori. Cerita pun dimulai.
12 oktober, tepat setelah Ashar, bus kami pun melaju meninggalkan pelataran parkir kantor yang sepi di hari itu, Minggu. Bus melaju dengan kecepatan standar, tak pelan dan tidak pula kencang. Di samping saya, duduk senior sealmamater, lama sekali kami tak berjumpa, sekitar 8 bulan. Dia, senior di SMA dan waktu kuliah, kini sedah seperti kakak sendiri. Saat mendaftar dulu, kami selalu bersama-sama, hingga akhirnya lulus dan terpisah tempat penempatan. Saya di pusat, dan dia di Kupang.
Di dalam bus, saya hampir tidak mengenal sebagian besar peserta lain. Adapun yang saya kenal atau akrab hanyalah 7 orang. 3 sealmamater, dan 4 rekan sekerja. Sisanya 31 orang adalah wajah-wajah asing yang perlu saya jelalahi kemudian.
2 jam berlalu kami pun tiba di tempat tujuan. Kampus untuk aparat, para pegawai negara ini. Indah, agak adem dibandingkan Jakarta walau tak sesejuk Puncak, tapi lumayanlah.
Pertarungan awal dimulai, menentukan kamar serta teman sekamar. Setelah berlangsung beberapa menit, akhirnya diputuskan satu kamar ditempati tiga orang. Berbeda tipis dari prediksi, dua orang. Persekutuan awalku semula dengan seniorku itu pun harus terpecah, dengan memasukkan pemain baru. Seorang senior lagi asal Jogja tapi ditempatkan di Kupang.
Esok harinya, hari pertama sekolah singkat dimulai. Olahraga pagi, makan pagi, berbaris rapi, ke kelas, coffe break, ke kelas lagi, istirahat makan siang, ke kelas, coffe break, masuk kelas lagi, pulang ke asrama, makan malam, terus ke GOR atau sekedar jalan-jalan di sekitar kampus, adalah setumpuk aktivitas yang harus kami lalui dalam 12 hari ke depannya.
Sebenarnya, disamping rutinitas-rutinitas itu, ada hal yang terus dan terus kami lakukan. Berfoto! Tidak hentinya dan seperti tanpa lelah, para fotografer amatiran di antara kami selalu berupaya mengabadikan momen-momen penting. Hingga sekolah itu kami gelari "diklat foto".
Dan, bukan hanya foto, bahkan sampai video pun dibuat.
Kabar gembiranya, selama disana, saya bisa ke kickandy offair (lagi!!!!) yang diadakan di IPB Bogor. Kabar buruknya, kami datang di penghujung acara, cuman bisa gigit jari melihat goody bag kickandy dan Andrea Hirata yang di beri pesta kejutan di hari ulangtahunnya.
Malam harinya, di adakan malam perpisahan. Sedih, melihat teman-teman yang mulai disayangi untuk terakhir kali. Beberapa memang tidak akan langsung pulang ke daerah, ada yang masih tinggal bersama kami di Jakarta untuk beberapa hari. Jagung bakar dan minuman soda menjadi "saksi korban" kami malam itu. Entah kapan lagi bisa bertemu.
Sabtu, 25 oktober, bus kami pun melaju lagi, kali ini menuju Jakarta. Mudah-mudahan kita berjumpa lagi dalam diklat yang lain, PIM II mungkin, amiin!

Komentar

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.