Langsung ke konten utama

Melihat Makassar dari 0 Kilometer


Judul : Makassar 0 Kilometer
Penulis : Anwar J Ibrahim, M Aan Mansyur, dkk
ISBN : 978.602.95231.7.1
Penerbit : Penerbit Ininnawa
Editor : Anwar J Rahman, M Aan Mansyur, dan Nurhady Sirimorok
Desain Sampul : Sapriady Zack Putra
Layout Isi : TanahindieSign
Tanggal Terbit : Cetakan II Juni 2011 (revisi)
Harga : - (lupa)
Tebal :255 hal + xviii
Pemesanan via Kampung Buku Jalan Abd. Daeng Sirua 192E Makassar, SMS 085656681100


Makassar, kota yang pernah akrab dengan saya. Selama 5 tahun lebih saya hidup di sana, menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi.  Buku ini membuka banyak kenangan lagi dengan kota itu.

Buku yang saya dapatkan dengan memesan langsung dari penerbitnya di Makassar pada 2012 lalu.   Merupakan edisi revisi dari cetakan pertama di tahun 2005.  Kisah-kisah di dalamnya berasal dari tahun 2005 ke bawah.  Diisi oleh 15 orang yang adalah penulis, wartawan dan peneliti, membuat buku ini sangat kaya akan "isi".

Dibagi ke dalam empat bagian besar, yaitu komunitas, kuliner, fenomena dan ruang.  Kita akan disuguhi berbagai "hidangan" khas makassar, mulai dari yang biasa hingga tak biasa. Saya yang hanya beberapa saat tinggal di sana agak terkejut "melihat" Makassar di dalam buku ini, karena tak menyangka ternyata banyak yang belum saya ketahui tentang kota ini. Bisa dibilang buku ini jugalah yang mendorong saya melahirkan yang serupa. Buku Sedikit Tentangmu dan Kendari adalah hasilnya walau tak "segarang" Makassar 0 Km.

Buku ini kembali direvisi tahun ini. Bagi yang berminat, silakan pesan sendiri ke Ininnawa, ya!







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.