Langsung ke konten utama

Pak Polisi dan Pasar

Muka-muka lesu bercampur kesal sangat tampak terlihat. Entah kenapa suasana pasar kali ini sangat muram, tak biasanya.
Beberapa langkah memasuki pasar, tak tampak pedagang beras yang biasa saya beli beras merahnya. Penjual sayur pun langka. Beberapa orang berkumpul tampaknya mendiskusikan sesuatu. Oh, rupanya ada pak polisi pamong praja di antaranya. Hmm,ada apakah ini??
Saya hanya sempat bertanya sedikit, tak berani banyak. Wajah para pedagang sedang gundah, tidak etislah saya "mewawancarai" mereka lagi.
Baru beberapa bulan, abu bekas bakaran pasar yang lama pun mungkin masih hangat. Pedagang yang menjajakan barang dagangannya di emperan trotoar pasar ini adalah mereka yang tak mampu membayar sewa kios di dalam gedung yang harganya menjulang itu. Kini mereka akan diusir lagi.
I don't know. Hati ini ngilu. Para ina-ina (sebagian besar pedagang adalah ibu-ibu berusia lanjut) ini adalah pejuang-pejuang bagi keluarganya. Namun, pemkot melalui tangan Satpol PP mau menghancurkan mata pencaharian mereka kembali.
Saat beranjak keluar pasar, Polisi Pamong Praja terlihat santai duduk berjejer. Tinggal menunggu aba-aba dari atasannya untuk mem"bereskan" para pedagang.

Ironi.

Atas nama kerapihan dan ketertiban di atas penderitaan rakyat kecil.

Komentar

  1. salam hangat dari kami ijin menyimak gan, dari kami pengrajin jaket kulit

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.