Langsung ke konten utama

Silaturahmi

Saya menyebutnya silaturahmi. Dua minggu di Bogor dan 2 hari di Jakarta itu seperti menggali memori kembali saat tinggal di sana.
Rumah kos saya yang dulu sudah tak berpenghuni. Di pagarnya sudah terpampang tulisan DIJUAL. Beberapa rumah di sekitarnya juga telah berubah, ada yang hilang dan berganti rupa. Yang bertahan hanya kosan depan. Di sanalah saya menginap satu malam.
Penjual pecel lele langganan saya dulu setiap hari libur pun telah berganti. Namun, suasananya tetap sama. Tak berubah. 
Kawasan Jalan Angkasa 1 di Kemayoran itu dulunya adalah perumahan bagi karyawan Merpati. Maskapai yang kini dililit berbagai masalah. Para penghuninya sudah banyak yang tidak tinggal di sana. Rumah-rumah itupun diganti menjadi kos-kosan yang menarik banyak pegawai kantoran yang kebetulan juga banyak di sekitarnya, termasuk kantor saya, BMKG.
Kantor saya dulu juga telah berubah banyak. Kini telah ada gedung tinggi tingkat belasan. Ruangan saya dulu juga telah berpindah lantai.  
Saya tak berlama-lama di kantor itu. Sekedar bertemu muka dan bertukar kabar dengan rekan lama. Walaupun tak sepenuhnya putus kontak.
Memori dan hubungan baik dengan rekan kerja yang lama memang cukup membantu saya saat di Kendari.
Silaturahmi ini baru kesampaian setelah tiga tahun, hehe. Setelah di Desember kemarin kepikiran untuk ke Jakarta buat mengurus dokumen. Ternyata, ditakdirkan buat urusan yang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.