Langsung ke konten utama

Antara Kunci Jawaban dan Belajar Keras

Mau tahu buku favorit saya waktu sekolah dasar? Buku kesukaan saya itu adalah buku "Kunci Jawaban".  Kenapa? Karena semua jawaban dari Ibu Guru ada di sana. Baik ulangan, maupun soal harian. Guru wali kelas saya nampaknya malas membuat soal, dan selalu mengandalkan buku tertentu yang jawabannya ada di buku "Kunci Jawaban". Yang punya buku itu di kelas, hanya saya dan ibu guru.

Dengan bekal buku "Kunci Jawaban" itu, saya melalui masa SD dengan ceria. Beberapa kali juara kelas, dan selalu lancar menjawab pertanyaan di kelas.

Entah kenapa hanya saya yang punya buku tersebut. Yang jelas, Bapak berhasil menemukannya di salah satu toko buku di kota saya (dan mungkin toko favorit), dan ternyata sama dengan yang dipakai oleh ibu guru saya. 

Akan tetapi, ketenangan saya tersebut terusik saat akan naik ke kelas 6. Keluarga saya pindah ke kampung. Saya mau tak mau harus ikut juga.

Saya kemudian didaftarkan ke sekolah di sana. Sebuah sekolah yang katanya cukup terkenal. Di sekolah yang baru itu, semua kebiasaan saya berubah. Tak ada lagi kunci jawaban. Tak ada lagi kemudahan-kemudahan dalam kelas. Saya berjuang keras di kelas 6 ini. Bukan lagi dengan bantuan buku Kunci Jawaban melainkan dengan otak. Keras!

Di sekolah yang lama, PR terasa gampang. Bapak seringkali membantu mengerjakannya. Namun, di sekolah yang baru, saya "dipaksa" untuk menyelesaikan semua PR sendiri. Tingkat kesulitan yang bertambah, dan Bapak juga tambah sibuk dengan tugas kantornya, saya tak sempat lagi meminta bantuan Bapak. Sehingga, di awal-awal masuk sekolah, saya sempat stress dan kewalahan.

Tak habis pikir, di tempat yang bisa dianggap kampung dibanding tempat sebelumnya,  sekolah dasarnya kok bisa kejam sekali, hiks. Culture shock  mungkin bisa disebut istilahnya. Anak-anak di sana lebih senang belajar dan lebih mempunyai semangat persaingan. Suasana mencongak* sebagai contohnya, adalah kesempatan di mana semua anak saling berlomba menjawab. Seru bagi mereka, dan menegangkan karena baru bagi saya.

Yang lebih terasa sadis bagi saya yang baru berusia 11 tahun waktu itu, adalah sang wali kelas. Perempuan separuh baya yang sangat berwibawa itu sangat tegas. Dan bisa tampak menakutkan bila salah satu murid tak mengerjakan PR. Sistem pengajaran yang masih terasa berbau feodal-menerapkan hukuman (fisik) yang tak tanggung-tanggung.

Namun, seiring waktu akhirnya saya beradaptasi juga. Menyesuaikan diri dengan cara belajar lebih keras, bahkan lebih dari yang bisa saya bayangkan. Tak ada kata santai seperti dulu. Sang wali kelas tak terlihat menakutkan lagi. Kali ini saya senang belajar lebih keras.
***

Bersyukur atas pengalaman waktu SD tersebut. Merasakan dua atmosfer belajar yang berbeda, sekolah di ibukota provinsi dan satunya di ibukota kabupaten. Satunya santai dan terkendali, sedang di tempat baru lebih "barbar" dan kompetitif.

Di kampung, saya bertemu guru-guru yang jenius dan menjadi idola saya. Mereka menguasai banyak bidang, dan betul-betul menguasai-bukan hanya sekedar tahu. Guru wali kelas saya saat SD mengajar hampir semua mata pelajaran, kecuali pelajaran Agama dan Olahraga. Beliau sangat pintar matematika, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial. Beliau juga yang mengajarkan kami kecintaan akan pengetahuan tentang dunia (geografi dan sejarah dunia). Walau beliau dari kampung, tapi wawasan beliau tak kampungan. Beliau juga selalu mengajarkan kejujuran, sesuatu yang kini sering diabaikan di dunia pendidikan.

Saya merindukan masa-masa seperti itu. Dimana belajar bukan sekedar mengejar angka, tapi juga memperoleh nilai-nilai kehidupan dan menyenangkan. Nilai-nilai yang tak melulu keluar dari mulut para guru, namun juga dicontohkan kepada murid-muridnya. 




*mencongak = metode berpikir cepat biasanya untuk matematika, guru akan mengajukan pertanyaan dan meminta siswa untuk menjawab dengan cepat

------------------------------------------------
Ikutan lomba blog Gerakan Indonesia Berkibar "Guruku Pahlawanku"




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.