Langsung ke konten utama

If I Were a Senator

Satu hal yang paling ingin saya rubah, ujian nasional. Saya ingin menghilangkan ujian nasional dari kurikulum sekolah kita, jika saja saya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Ujian Akhir Nasional yang berlangsung beberapa hari dipilih menjadi standar kelulusan, dibandingkan proses seorang murid di bangku sekolahan selama 6 atau 3 tahun. Tidak adil! Meski sudah ada perubahan yang dilakukan pemerintah, tapi tetap saja. Banyak efek negatif yang diperoleh dibanding sisi positifnya. Kecurangan dan depresi, dua hal yang banyak mewarnai pelaksanaan Ujian ini. Betapa dunia pendidikan yang dulu sangat mengagungkan kejujuran, terpaksa menghalalkan contekan demi tingginya angka kelulusan. Bukan itu saja, bahkan mereka "bekerja sama" dalam kecurangan agar ujian tersebut sukses. Wajah pendidikan kita mau dibawa ke mana kalau begini?
Tugas dan kewenangan anggota DPD memang terbatas, tak sebanyak anggota DPR. Tapi, memegang jabatan tersebut, pendapat kita pasti akan didengarkan. Yang lain, berhubungan dengan lingkungan. Daerah saya, Sulawesi tenggara, adalah daerah pertambangan baru. Beberapa perusahaan tambang berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam, nikel dan emas. Di dalam kota Kendari, ceceran bahan galian membuat resah banyak warga, namun pemerintah daerah malah menganggap remeh. Banjir bandang, akibat penggundulan hutan dan pembukaan lahan tambang, sudah beberapa kali melanda. Bayangkan bahwa kisah tambang di daerah ini akan sama seperti Belitung, Sumbawa bahkan Papua, tak membawa kebahagiaan malah kesengsaraan. Isu ini harus terus terus didengungkan, dan corong sebagai anggota DPD saya rasa tepat. Tapi, rupanya ada yang saya lupa. Sudah dua kali saya tidak memilih. Jadi, sepertinya menjadi anggota DPD tidak masuk ke dalam cita-cita atau daftar keinginan saya. Lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya, berkaca dari dunia parlemen Indonesia sekarang.

Komentar

  1. Sebenarnya mau diikutkan dalam lomba blog DPD, tapi saya merasa kurang sejalan dengan prinsip politik saya sekarang.

    BalasHapus
  2. wah pertamax diamankan sendiri ma TS neh.. :p

    untuk point pertama saya rasa kurang tepat. saya pikir dpd lebih menyoroti seputar point2 kedua.. ;-)

    BalasHapus
  3. Sepertinya begitu, isu2 daerah lebih "megang" kalo utk anggota dpd.

    BalasHapus
  4. Salam kenal, Pia :)

    Menanggapi komentarnya di blog saya, iya saya memang matanya silindirs hehehe...

    Jadi ini gak diikutkan lomba? Kan hanya berandai2? :)

    BalasHapus
  5. Jiyah, jadi malu :(
    Kok saya gak mengenalii...

    Maaf, Mbak :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.