Langsung ke konten utama

Lombok, The Island of Cabe


Berkunjung ke pulau Lombok adalah pengalaman baru untuk saya, lagi. Dari atas pesawat, objek yang pertama kali menarik perhatian adalah sawah dan ladang yang jumlahnya banyak sekali. Lombok memang terkenal sebagai lumbung padi nasional.
Situs pertama yang saya kunjungi adalah Bandara Selaparang. Setelah pekerjaan selesai, kira-kira lima jam-an, kami pun bergerak lagi. Kali ini ke daerah kediri, luar kota Mataram, untuk melaksanakan pekerjaan yang sama di tempat itu, instalasi akselerograf. Di sepanjang jalan, saya menyaksikan objek yang menyita mata saya di atas pesawat, ladang dan sawah yang luas serta hijau. Sedang, di Kediri, ada fenomena unik. Antar kampung, masing-masing memiliki mesjid sendiri, walau berjarak beberapa meter. Jadi, daerah itu terkenal dengan daerah seribu mesjid. Suara azan akan bersahut-sahutan. Namun, yang memprihatinkan, jemaahnya tak sebanding dengan jumlah mesjidnya.:(
Pekerjaan selesai saat waktu menunjuk jam setengah sepuluh malam. Perut keroncongan minta makan, maka kami pun segera melesat ke rumah makan seafood yang ada di pusat kota (jauhhhhh..). Tujuan selanjutnya, mencari penginapan. Setelah berputa-putar di pusat kota, akhirnya kami pun menginap di Hotel Lombok Garden (recommended!).
Hari kedua, saya pun menuju pulau tetangga, Sumbawa. Memanfaatkan maskapai lokal yang pelayananannya tidak kalah dengan yang nasional (TransNusa, recommended!), dengan pesawat kecil kami terbang ke pulau itu. Hanya membutuhkan waktu 40 menit, kami akhirnya mendarat di Bandara Sumbawa Besar. Dengan jalan darat, biasanya memakan waktu 5 – 6 jam, melintasi selat Alas, dengan kapal ferry. Hanya sehari kami disana, besoknya saya kembali ke Mataram. Sumbawa Besar, adalah kota kecil yang mulai berkembang. Sayang, laju pertumbuhannya agak terhambat karena letaknya yang cukup dekat dengan Mataram, orang-orang lebih memilih untuk berbelanja di Matarm dibanding di Sumbawa Besar. Makanan khas, karena tidak direkomendasikan, tidak saya coba. Yang ada, malah menyantap makanan Jawa Timuran serta Padang (Padang lagi, padang lagi, boseenn..).
Saya memilih jalan udara ke Mataram, sedang rekan saya lewat darat. Di Mataram, kami pun kembali melanjutkan pekerjaan yang masih tersisa. Setelah selesai, kami pun menuju lokasi yang disebut-sebut sebagai ikonnya Lombok, pantai Senggigi.
Hujan deras mulai turun saat kami melintasi perbatasan Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Meliuk-liuk,mengitari jalan di bukit, kami mengelilingi pantai Senggigi. Daerah yang indah, yang di isi hotel, resort serta padang dan kebun Kelapa yang luas. Udara dingin akibat hujan terobati dengan jagung bakar pedas (hhmmm, uenakkk..), jagung manis yang juga dihasilkan di tanah Lombok.
Makan malam di isi dengan Ayam Taliwang. Di sebuah rumah makan, yang luas dan ruamee, saya memesan ayam bakar madu. Ditemani sayur Lebui (bukan Lebay loh...), yang rasanya tidak saya rekomendasikan. Ayam Taliwang, ternyata ayam kurus yang masih muda, dan bukannya cara masaknya yang taliwang (yang saya kira sebelumnya). Selain Ayam Taliwang, Lombok terkenal akan Kangkung Pelecingnya, tapi karena Maag yang akut, saya tidak menyertakannya dalam daftar makanan saya. Kangkung Lombok, berbeda dengan kangkung di daerah lain. Dari orang yang telah mencicipinya, perbedaan itu disebabkan oleh tanah dan air Lombok yang khas. Dapat dilihat, walau jenisnya sama, jika ditanam di tempat lain, rasanya tidak akan sekrenyes Kangkung Pelecing Lombok.
Satu hal yang menjadi pencerahan bagi saya di Lombok, di sini terkenal dengan cabenya yang benar-benar pedas. Namanya juga Lombok, cabe dalam bahasa lokal, yah pasti pedas..:)

ps: Lombok juga bahasa lokal untuk cabe di daerah saya, Kendari.

Komentar

  1. pertamax diamankan!! :D

    laporan perjalanan neh..? koq g ada putu-putunya..? ;) sempat ke senggigi? denger2 bagus tuh pantainya.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda atas isi blog saya ini. Kritik, saran yang membangun sangat diharapkan, namun harap sopan.

Postingan populer dari blog ini

Langkah Kecil untuk Konservasi Sumber Air

Berapa liter dalam sehari air yang kamu pakai buat keperluanmu? Lima, sepuluh? Bisa lebih dari itu. Jika mandi dilakukan dua kali sehari, maka bisa dihitung kira-kira lebih dari 50 liter saja dihabiskan buat mandi saja, belum buat yang lain. Dari mana air itu kita peroleh? Masyarakat kita kebanyakan memperolehnya dari sumber air tanah, karena kemampuan perusahaan air yang masih terbatas. Banyak juga yang memperolehnya dari sungai, bahkan ada yang membangun rumah dekat sungai sehingga tak perlu bersusah-susah mencari sumber airnya.

Kersen, Jambu Air dan Rambutan

Tulisan ini diikutkan pada  8 Minggu Ngeblog   bersama Anging Mammiri, minggu pertama. S uatu sore, April 1994 Aku terbangun dari tidur siangku. Tak ada mimpi buruk, aku tidur dengan pulas siang itu. Setelah berdiam diri sambil merenung, aku lalu melompat dari tempat tidur. It's Cheery Tree time , waktunya Pohon Kersen sodara-sodara!! Kaki dan tanganku lincah mencari dahan untuk dinaiki. Berpuluh-puluh buah Kersen warna-warni menggodaku. Aku tak sabar lagi ingin mencicipi manisnya buah-buah Kersen itu. Hmmmmm..., Jangan tanya berapa lama aku bisa bertahan di atas pohon Kersen, bisa berjam-jam. Dan, untungnya, pohon Kersen itu tak jauh dari rumah. Pohon itu dengan gagahnya bertengger di depan teras depan rumah nenekku. Pohon yang jadi favoritku dan sepupu-sepupu serta kawan-kawan sepermainan di sekitar rumah nenekku. Kersen (gambar dari sini )

Saya Pilih Ubuntu!

Sekitar awal tahun lalu, saya sudah punya niat untuk membeli laptop sendiri. Setelah bertahun kerja dan selalu mengandalkan komputer kantor buat mengerjakan semua kepentingan dengannya, saya ingin mengubah keadaan ini. Saya lalu mengumpulkan sedikit demi sedikit uang honor demi sebuah laptop.  Setelah beberapa saat, uang akhirnya terkumpul.  Setelah bertanya kesana kemari merek laptop yang kira-kira murah tapi bagus, dan juga bantuan sahabat baik saya, Ami, yang kebetulan cerewet sekali kalau membahas hal-hal berhubungan dengan gadget. Kami pun lalu menunjuk sebuah merek. Pertama kali memilih laptop tersebut, abang penjualnya menawarkan memakai sistem operasi sejuta umat, sang Jendela. "Mau pake Win***s? Kalau mau, drivernya udah ada. Tinggal nambah aja sejuta.", kata si penjual tersebut. "Oh, tidak. Mau pakai linux saja. Ada gak?" "Waduh, ga ada linux di sini. Susah itu." Saya menolak, mau memakai linux saja.